Halaman

Senin, 07 Januari 2013

PENDIDIKAN KARAKTER DENGAN METODE SENTRA


Oleh Yudhistira ANM Massardi

Sejak sekolah gratis untuk kaum dhuafa yang kami kelola, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi, menerapkan Metode Sentra pada 2006, kami bagai menemukan “setitik cahaya di ujung terowongan.” Begitu melihat hasilnya yang luarbiasa, kami yakin, jika pendidikan anak usia dini di sini diselenggarakan dengan menggunakan Metode Sentra, insya Allah bisa dilahirkan generasi baru bangsa yang lebih baik: cerdas, mandiri, berakhlak mulia.

Model pembelajaran Sentra dikembangkan oleh Pamela Phelps di Florida, Amerika Serikat, sejak tahun 70-an. Metode ini diadopsi dan dibawa ke Indonesia oleh drg. Wismiarti Tamin, pendiri Sekolah Al-Falah di Ciracas, Jakarta Timur, 1996. Kami mempelajari, mengembangkan dan kemudian menyebarluaskannya melalui seminar, pelatihan dan penerbitan majalah Media TK Sentra, setelah menjalani training yang diselenggarakan oleh Sekolah Al-Falah.

Metode Sentra adalah cara belajar-mengajar yang revolusioner bagi pendidikan anak usia dini. Inilah jawaban menyeluruh terhadap kebutuhan bangsa yang kini hibuk mencari formula bagi sebuah “pendidikan karakter” yang bisa mengubah  moral-mental-nalar bangsa ini menjadi lebih baik. Juga sekaligus menjadi jawaban bagi kebutuhan sebuah pendidikan “berstandar internasional” plus Islami.

Paradigma baru
Metode Sentra merupakan paradigma baru di bidang pendidikan dan pengajaran. Mengingat begitu luas tujuan dan cakupannya, di sini hanya akan dikemukakan beberapa prinsipnya yang berbeda dengan metode konvensional.

Dalam pembelajaran dengan Metode Sentra, kurikulum tidak diberikan secara klasikal, melainkan individual, disesuaikan dengan tahap perkembangan masing-masing anak. Maka, jumlah murid dalam satu kelas dibatasi, maksimal 12 anak. Selama proses pembelajaran, guru dilarang melakukan “3M”: tidak boleh melarang, menyuruh, marah/menghukum.

Basis pembelajaran adalah bermain sambil belajar. Suasana belajar-mengajar dibangun untuk memberikan rasa nyaman dan bahagia (happy learning). Untuk mencapai suasana tersebut, guru bersama murid duduk dalam lingkaran, supaya posisi mata guru sejajar dengan mata para murid, sehingga tidak ada jarak hierarkial. Maka, di kelas pun tidak ada papan tulis, sebab guru tidak memerlukannya. Materi ajar disampaikan secara interaktif dan kongkret, dengan menempatkan murid sebagai pusat. Guru pun menyapa para murid dengan sebutan “teman.” Ketika memasuki kelas, guru tidak datang dengan sikap “akan mengajar apa kepada anak hari ini” melainkan “aku akan belajar apa dari anak hari ini.”

Metode ini membangun “kecerdasan jamak” secara bersamaan dan berimbang: kecerdasan logika-matematika, bahasa, tubuh (kinestetik), ruang (spasial), kemandirian (intrapersonal), kepedulian sosial (interpersonal), musik. Seluruh potensi kecerdasan itu dibangun melalui sentra-sentra (wahana) bermain yang meliputi tiga jenis main: main pembangunan, sensorimotor dan main peran.

Ada tujuh sentra yang disediakan agar anak-anak bisa bermain gembira dan mendapatkan banyak pilihan pekerjaan:  Sentra Persiapan (membangun kemampuan keaksaraan); Sentra Balok (merangsang kemampuan konstruksi, prediksi, presisi, akurasi, geometri, matematika); Sentra Seni (membangun kreatifitas, sensori motor, kerjasama); Sentra Bahan Alam (membangun sensori motor, fisika sederhana, pemahaman akan batasan dan sebab-akibat); Sentra Main Peran Besar dan Sentra Main Peran Kecil (mambangun imajinasi, daya hidup, adaptasi, kemandirian, kebahasaan, kepemimpinan); serta Sentra Imtak (iman dan takwa). Setiap hari, anak bermain di Sentra yang berbeda (moving class).

Di setiap Sentra, kemampuan klasifikasi anak dibangun secara terus-menerus agar mereka bisa memiliki konsep berpikir yang benar, kritis, dan analitis. Semua pengetahuan (knowledge) diberikan secara kongkret, tidak abstrak. Anak-anak dirangsang untuk “menemukan sendiri” konsep-konsep faktual mengenai bentuk, warna, ukuran, ciri, tanda, sifat, habitat, manfaat, serta rangkaian sebab-akibat.

Sejak dini, anak pun dirangsang untuk bisa mengekspresikan diri dengan baik melalui kelisanan, tulisan dan gambar. Oleh karena itu, selama proses belajar-mengajar, guru melakukan komunikasi interaktif dengan menggunakan bahasa Indonesia yang  baik dan benar, agar cara kerja otak anak pun terstruktur dengan baik. Bersamaan dengan itu, dibangun juga laku praksis (bukan hafalan) karakter-karakter luhur berdasarkan sifat-sifat mulia Allah (Asmaul Husna). 

Jendela kesempatan
Metode Sentra terbukti sangat efektif digunakan untuk membangun karakter dan kecerdasan anak sejak bayi (usia empat bulan) hingga jenjang SD kelas tiga (usia sembilan tahun). Itulah fase awal dalam kehidupan anak manusia yang oleh para ahli pendidikan disebut sebagai “usia emas (golden age: 0-7 tahun).” Itulah suatu rangkaian waktu yang juga disebut sebagai sebuah “jendela kesempatan” yang akan tertutup sesudah waktu itu berlalu. Itulah masa yang sangat menentukan kualitas dan masa depan anak: sukses atau gagal, jadi ahli surga atau ahli neraka.

Pertanyaannya adalah, sungguh-sungguhkah kita, para orangtua, para pempimpin bangsa, hendak memiliki anak-cucu yang bisa menjadi generasi baru bangsa yang lebih baik? Jika ya, satu hal yang sudah pasti adalah: fondasi bagi kecerdasan dan karakter mulia hanya bisa dibangun ketika anak usia 0-7 tahun. Itu artinya, Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional harus diubah, dan program wajib belajar 12 tahun harus berfokus pada pendidikan anak usia dini!

Itulah yang diyakini dan dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Begitu mengetahui kemerosotan kualitas para pelajarnya sebagaimana yang ditunjukkan oleh, antara lain, hasil tes PISA 2009 yang menempatkan posisi anak-anak Amerika dalam kemampuan membaca, sains dan matematika pada peringkat 17, 23 dan 31 di antara 65 negara, Presiden Obama langsung berkesimpulan: “Amerika berada dalam bahaya terjengkang ke belakang.” Maka, ia pun menggelontorkan dana US$ 10 miliar untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak usia dini, termasuk anak-anak kaum miskin, dan peningkatan kualitas serta gaji para guru.

Kini, kita memiliki sekitar 65 juta anak usia 0-14 tahun, dan separuhnya tidak mampu bersekolah. Kita juga memiliki sekitar 60 juta jiwa orang miskin dan sangat miskin. Maka, kita pun bisa membayangkan, seperti apa masa depan anak-anak mereka. Padahal, mereka juga adalah para ahli waris utang luar negeri sebesar US$ 214,5 miliar, sekaligus merupakan  generasi penerus bangsa yang harkat dan martabatnya ambruk terbenam kemiskinan dan moralitas para pemimpinnya yang buruk.

Apakah Anda, terutama Presiden SBY, sungguh-sungguh tidak mau bertindak dan mengulurkan tangan untuk memperbaiki nasib dan masadepan puluhan juta anak-cucu yang menangis dan merangkak dalam kebodohan dan kurang gizi itu? Pak SBY, inilah “jendela kesempatan” terakhir Anda untuk melakukan kebaikan di muka bumi.

Dengarlah apa yang dikatakan oleh Presiden Obama: “Saya tidak mau mengirimkan generasi baru Amerika berikutnya untuk gagal di sekolah. Saya tidak mau masadepan seperti itu bagi anak-anak perempuan saya. Saya tidak mau masadepan seperti itu untuk anak-anak Anda. Saya tidak mau masadepan seperti itu untuk Amerika.”[] (MEDIA INDONESIA, 20 Februari 2012)

* Yudhistira ANM Massardi adalah sastrawan/wartawan pengelola sekolah gratis untuk dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi.

Yudhistira ANM Massardi
email: ymassardi@yahoo.com
HP 0813.8842.0811
Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa,TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi
Pondok Pekayon Indah Blok BB 29 No 6, Jl. Pakis V B, Pekayon Jaya, Bekasi 17148

Tidak ada komentar:

Posting Komentar