Halaman

Sabtu, 12 Januari 2013

PEMERINTAH BUBARKAN RSBI

Tahun 2013 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia akan menghentikan pengembangan program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), menyusul akan dilaksanakan evaluasi mengenai program tersebut. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan 1.300 sekolah unggulan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) dibubarkan. Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (8/1). Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Mahfudz MD, memutuskan membatalkan pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 tentang RSBI. Dengan pembatalan pasal tersebut maka otomatis keberadaan sekolah RSBI harus dibubarkan. Putusan ini dikeluarkan oleh MK setelah menimbang bahwa keberadaan RSBI dan SBI tidak sesuai dengan konstitusi yang ada. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah biaya yang mahal mengakibatkan adanya diskriminasi pendidikan. Kemudian pembedaan antara RSBI-SBI dengan non RSBI-SBI menimbulkan adanya kastanisasi pendidikan.
Selanjutnya, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam tiap mata pelajaran dalam sekolah RSBI-SBI dianggap dapat mengikis jati diri bangsa dan melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa. "Kami berharap pemerintah berkomitmen untuk melaksanakan keputusan MK ini dan segera membubarkan RSBI," ujar Retno Listyarti, guru SMA N 13 yang bertindak menjadi salah satu saksi dalam kasus judivicial revenue pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas tersebut. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Suyanto kepada KRjogja.com, menuturkan Kalau itu sudah menjadi keputusan MK, harus dilaksanakan. Terhadap 1300 RSBI tetap akan dikembangkan sebagai sekolah unggulan yang bisa dijadikan rujukan kualitas bagi sekolah-sekolah di daerah sekitarnya.
Dewan Pendidikan DIY menilai, keberlangsungan program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang kini tengah ditinjau Mahkamah Konstitusi (MK) pada dasarnya telah merendahkan martabat bangsa. Pasalnya, RSBI justru menempatkan bangsa Indonesia sendiri pada level dibawah standar nasional. Ketua Dewan Pendidikan DIY, Prof. Wuryadi mengungkapkan, selama ini RSBI didesain dengan paradigma taraf nasional plus. Hal ini berarti, taraf nasional (Indonesia) dipandang lebih rendah dari internasional. "Untuk menjadi RSBI yang bertaraf internasional itu taraf nasionalnya kita letakkan di bawah. Itu yang mengganggu paradigma berfikir kebangsaan kita. Jangan selalu menempatkan Indonesia itu dibawah, itu yang menyebabkan kita menjadi rendah diri," ujarnya di Kepatihan, Senin (3/11).
Menurutnya, paradigma pemikiran RSBI selama ini tidak berdasarkan konstitusi yang mendasar. Karena dasarnya langsung bergerak dari Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) baru kemudian dikembangkan RSBI supaya lebih luas. Namun, dalam pelaksanaannya, RSBI justru menimbulkan kesenjangan yang tinggi khususnya bagi siswa mampu dan tidak mampu. "Bukan tidak optimal, tetapi karena konsekuensi dari pembiayaan yang lebih mahal, juga menimbulkan diskriminasi. Pemerintah membiayai RSBI lebih dari yang bertaraf nasional karena sudah diletakkan RSBI itu adalah nasional plus, itu yang tidak benar," tegasnya. Ia mencontohkan, keberadaan RSBI di Indonesia berbanding terbalik dengan pendidikan yang diterapkan di Jepang. Dimana negara tersebut tidak mementingkan 'label' nasional atau internasional melainkan berbasis peradaban pendidikan Jepang itu sendiri. "Kalau orang jepang tidak peduli apakah taraf pendidikan di Jepang sudah melebihi internasional atau tidak. Tetapi yang penting dia berbasis peradaban dan budaya Jepang. Mengapa kita tidak bisa seperti itu padahal kita punya peradaban sendiri," katanya.
Dewan pendidikan DIY sendiri beranggapan, jika paradigma RSBI tetap nasional plus, maka pihaknya sepakat agar RSBI tidak perlu dilanjutkan. Kalau dimungkinkan, pendisikan tetap bernafas nasional tetapi kualitasnya ditingkatkan dengan tidak memakai predikat internasional,  "Kita tidak ingin RSBI ini berlanjut, karena itu merendahkan bangsa. Kita ingin taraf nasional kebangsaan yang dikembangkan. Tidak ada diskriminasi, semua diberi perhatian yang sama. Sekarang ini terasa sangat diskriminatif karena RSBI boleh menarik lebih," tuturnya. Atas tinjauan yang dilakukan MK, pihaknya juga mengaku sudah sejak lama memberikan masukan. "Kita sudah memberi masukan sejak tahun 2006, tetapi tidak pernah dibaca atau tidak pernah didengar. RSBI itu harus ditinjau, karena dia melukai rasa kebangsaan kita," tandasnya.
Sumber : krjogja.com 8 Januati 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar