Halaman

Minggu, 13 Januari 2013

MAHASISWA HARUS PANDAI Dan BERADAB

       Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pendidikan dan budaya, kerap kali dinodai berbagai gejolak sosial yang mencenderai semangat keberagaman identitas. Perkelahian, tawuran, bahkan saling serang yang melibatkan kelompok warga pendatang, menjadi bukti penting betapa perlunya meningkatkan rasa saling menghargai dan toleransi menyikapi pebedaan. Menyikapi hal tersebut, sejumlah tokoh lintas budaya dan agama mengadakan pertemuan di Dusun Tambakbayan, Caturtunggal, Depok belum lama ini. Hadir dalam kesempatan tersebut, Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Bupati Sleman Sri Purnomo, Jajaran Polda DIY dan Polres Sleman, pengiat Forum Persaudaraan Umat Beriman, KH Abdul Muhaimin, serta perwakilan dari sejumlah warga pendatang.

Berbagai insiden dan gejolak sosial itu memang menjadi keprihatinan dan perhatian banyak pihak. Melalui dialog lintas budaya, para pemangku kepentingan ini mencoba mencari formulasi untuk mengantisipasi munculnya kejadian serupa di masa mendatang. “Bagi saya, sangat memalukan jika Yogyakarta sebagai kota pendidikan, harus dicenderai dengan konflik-konflik demikian. Jangan sampai keakuan mengalahkan segalanya. Tumbuhkan modal sosial untuk membangun kenegaraan,” ujar Gubernur DIY Sri Sultan HB X. Sri Sultan memang memberikan penekanan khusus pada masalah harmonisasi, alkuturasi dan transformasi kultural yang menjadi modal sosial dalam keberagaman. Kegagalan memahami perbedaan itu, menurutnya, menjadi faktor paling dominan terjadinya gejolak sosial. 
Sultan meminta berbagai pihak menumbuhkan kemampuan saling menghargai denagn tidak menonjolkan keakuan. “ Kalau jadi orang jawa malah keliru. Tapi jadilah Anda sendiri dengan identitas asli darimana Anda berasal. Jadilah masing-masing dengan keluruhan norma, moral, adat, dan budayanya. Meski pada dasarnya, semuanya merupakan orang Yogyakarta yang kebetulan saja berasal dari daerah lain,” ujarnya. Namun untuk menciptakan keharmonisan itu, tambahnya, diperlukan pengorbanan. Tidak gampang untuk bisa menerima perbedaan dan menumbuhkan toleransi dan intropeksi masing-masing pihak. “ Antar etnik harus saling menghargai, jangan terlalu menonjolkan keakuannya. Jangan sampai kita kemudian set back lagi ke masa lalu,” tandasnya. “ Pada prinsipnya, pendidikan kemudian tidak hanya melahirkan mahasiswa pandai tapi juga yang beradab,” tandas Sultan.

Sumber : Tribun Jogja, Rabu 9 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar