Tahun 2013 Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia akan menghentikan pengembangan program
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), menyusul akan dilaksanakan
evaluasi mengenai program tersebut. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan 1.300
sekolah unggulan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah
Berstandar Internasional (SBI) dibubarkan. Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa
(8/1). Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Mahfudz MD, memutuskan membatalkan
pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 tentang RSBI. Dengan pembatalan
pasal tersebut maka otomatis keberadaan sekolah RSBI harus dibubarkan. Putusan
ini dikeluarkan oleh MK setelah menimbang bahwa keberadaan RSBI dan SBI tidak
sesuai dengan konstitusi yang ada. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan
adalah biaya yang mahal mengakibatkan adanya diskriminasi pendidikan. Kemudian
pembedaan antara RSBI-SBI dengan non RSBI-SBI menimbulkan adanya kastanisasi
pendidikan.
Selanjutnya,
penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam tiap mata pelajaran
dalam sekolah RSBI-SBI dianggap dapat mengikis jati diri bangsa dan melunturkan
kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai
alat pemersatu bangsa. "Kami berharap pemerintah berkomitmen untuk
melaksanakan keputusan MK ini dan segera membubarkan RSBI," ujar Retno
Listyarti, guru SMA N 13 yang bertindak menjadi salah satu saksi dalam kasus
judivicial revenue pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas tersebut. Direktur Jenderal
Pendidikan Dasar Suyanto kepada KRjogja.com, menuturkan Kalau itu sudah menjadi
keputusan MK, harus dilaksanakan. Terhadap 1300 RSBI tetap akan dikembangkan
sebagai sekolah unggulan yang bisa dijadikan rujukan kualitas bagi
sekolah-sekolah di daerah sekitarnya.
Dewan
Pendidikan DIY menilai, keberlangsungan program Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) yang kini tengah ditinjau Mahkamah Konstitusi (MK) pada
dasarnya telah merendahkan martabat bangsa. Pasalnya, RSBI justru menempatkan
bangsa Indonesia sendiri pada level dibawah standar nasional. Ketua Dewan
Pendidikan DIY, Prof. Wuryadi mengungkapkan, selama ini RSBI didesain dengan
paradigma taraf nasional plus. Hal ini berarti, taraf nasional (Indonesia)
dipandang lebih rendah dari internasional. "Untuk menjadi RSBI yang
bertaraf internasional itu taraf nasionalnya kita letakkan di bawah. Itu yang
mengganggu paradigma berfikir kebangsaan kita. Jangan selalu menempatkan
Indonesia itu dibawah, itu yang menyebabkan kita menjadi rendah diri,"
ujarnya di Kepatihan, Senin (3/11).
Menurutnya,
paradigma pemikiran RSBI selama ini tidak berdasarkan konstitusi yang mendasar.
Karena dasarnya langsung bergerak dari Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
baru kemudian dikembangkan RSBI supaya lebih luas. Namun, dalam pelaksanaannya,
RSBI justru menimbulkan kesenjangan yang tinggi khususnya bagi siswa mampu dan
tidak mampu. "Bukan tidak optimal, tetapi karena konsekuensi dari pembiayaan yang lebih
mahal, juga menimbulkan diskriminasi. Pemerintah membiayai RSBI lebih dari yang
bertaraf nasional karena sudah diletakkan RSBI itu adalah nasional plus, itu
yang tidak benar," tegasnya. Ia mencontohkan, keberadaan RSBI di Indonesia berbanding terbalik dengan
pendidikan yang diterapkan di Jepang. Dimana negara tersebut tidak mementingkan
'label' nasional atau internasional melainkan berbasis peradaban pendidikan
Jepang itu sendiri. "Kalau orang jepang tidak peduli apakah taraf pendidikan di Jepang sudah
melebihi internasional atau tidak. Tetapi yang penting dia berbasis peradaban
dan budaya Jepang. Mengapa kita tidak bisa seperti itu padahal kita punya
peradaban sendiri," katanya.
Dewan
pendidikan DIY sendiri beranggapan, jika paradigma RSBI tetap nasional plus,
maka pihaknya sepakat agar RSBI tidak perlu dilanjutkan. Kalau dimungkinkan,
pendisikan tetap bernafas nasional tetapi kualitasnya ditingkatkan dengan tidak
memakai predikat internasional, "Kita tidak ingin RSBI ini
berlanjut, karena itu merendahkan bangsa. Kita ingin taraf nasional kebangsaan
yang dikembangkan. Tidak ada diskriminasi, semua diberi perhatian yang sama.
Sekarang ini terasa sangat diskriminatif karena RSBI boleh menarik lebih,"
tuturnya. Atas tinjauan yang dilakukan MK, pihaknya juga mengaku sudah sejak
lama memberikan masukan. "Kita sudah memberi masukan sejak tahun 2006,
tetapi tidak pernah dibaca atau tidak pernah didengar. RSBI itu harus ditinjau,
karena dia melukai rasa kebangsaan kita," tandasnya.
Sumber : krjogja.com 8 Januati 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar