Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pendidikan
dan budaya, kerap kali dinodai berbagai gejolak sosial yang mencenderai
semangat keberagaman identitas. Perkelahian, tawuran, bahkan saling serang yang
melibatkan kelompok warga pendatang, menjadi bukti penting betapa perlunya
meningkatkan rasa saling menghargai dan toleransi menyikapi pebedaan. Menyikapi
hal tersebut, sejumlah tokoh lintas budaya dan agama mengadakan pertemuan di
Dusun Tambakbayan, Caturtunggal, Depok belum lama ini. Hadir dalam kesempatan
tersebut, Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Bupati Sleman Sri Purnomo, Jajaran
Polda DIY dan Polres Sleman, pengiat Forum Persaudaraan Umat Beriman, KH Abdul
Muhaimin, serta perwakilan dari sejumlah warga pendatang.
Sumber : Tribun Jogja, Rabu 9 Januari 2013
Berbagai
insiden dan gejolak sosial itu memang menjadi keprihatinan dan perhatian banyak
pihak. Melalui dialog lintas budaya, para pemangku kepentingan ini mencoba
mencari formulasi untuk mengantisipasi munculnya kejadian serupa di masa
mendatang. “Bagi saya, sangat memalukan jika Yogyakarta sebagai kota
pendidikan, harus dicenderai dengan konflik-konflik demikian. Jangan sampai
keakuan mengalahkan segalanya. Tumbuhkan modal sosial untuk membangun
kenegaraan,” ujar Gubernur DIY Sri Sultan HB X. Sri Sultan memang memberikan
penekanan khusus pada masalah harmonisasi, alkuturasi dan transformasi kultural
yang menjadi modal sosial dalam keberagaman. Kegagalan memahami perbedaan itu,
menurutnya, menjadi faktor paling dominan terjadinya gejolak sosial.
Sultan
meminta berbagai pihak menumbuhkan kemampuan saling menghargai denagn tidak
menonjolkan keakuan. “ Kalau jadi orang jawa malah keliru. Tapi jadilah Anda
sendiri dengan identitas asli darimana Anda berasal. Jadilah masing-masing
dengan keluruhan norma, moral, adat, dan budayanya. Meski pada dasarnya,
semuanya merupakan orang Yogyakarta yang kebetulan saja berasal dari daerah
lain,” ujarnya. Namun untuk menciptakan keharmonisan itu, tambahnya, diperlukan
pengorbanan. Tidak gampang untuk bisa menerima perbedaan dan menumbuhkan
toleransi dan intropeksi masing-masing pihak. “ Antar etnik harus saling
menghargai, jangan terlalu menonjolkan keakuannya. Jangan sampai kita kemudian set back lagi ke masa lalu,” tandasnya.
“ Pada prinsipnya, pendidikan kemudian tidak hanya melahirkan mahasiswa pandai
tapi juga yang beradab,” tandas Sultan.
Sumber : Tribun Jogja, Rabu 9 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar