Oleh Yudhistira ANM Massardi
Sejak sekolah gratis untuk kaum dhuafa yang kami kelola, TK-SD Batutis
Al-Ilmi Bekasi, menerapkan Metode Sentra pada 2006, kami bagai menemukan
“setitik cahaya di ujung terowongan.” Begitu melihat hasilnya yang luarbiasa,
kami yakin, jika pendidikan anak usia dini di sini diselenggarakan dengan
menggunakan Metode Sentra, insya Allah bisa dilahirkan generasi baru bangsa
yang lebih baik: cerdas, mandiri, berakhlak mulia.
Model pembelajaran Sentra dikembangkan oleh
Pamela Phelps di Florida, Amerika Serikat, sejak tahun 70-an. Metode ini
diadopsi dan dibawa ke Indonesia oleh drg. Wismiarti Tamin, pendiri Sekolah
Al-Falah di Ciracas, Jakarta Timur, 1996. Kami mempelajari, mengembangkan dan
kemudian menyebarluaskannya melalui seminar, pelatihan dan penerbitan majalah
Media TK Sentra, setelah menjalani training yang diselenggarakan oleh Sekolah
Al-Falah.
Metode Sentra adalah cara belajar-mengajar yang
revolusioner bagi pendidikan anak usia dini. Inilah jawaban menyeluruh terhadap
kebutuhan bangsa yang kini hibuk mencari formula bagi sebuah “pendidikan
karakter” yang bisa mengubah moral-mental-nalar bangsa ini menjadi lebih
baik. Juga sekaligus menjadi jawaban bagi kebutuhan sebuah pendidikan “berstandar
internasional” plus Islami.
Paradigma baru
Metode Sentra merupakan paradigma baru di bidang
pendidikan dan pengajaran. Mengingat begitu luas tujuan dan cakupannya, di sini
hanya akan dikemukakan beberapa prinsipnya yang berbeda dengan metode konvensional.
Dalam pembelajaran dengan Metode Sentra,
kurikulum tidak diberikan secara klasikal, melainkan individual, disesuaikan
dengan tahap perkembangan masing-masing anak. Maka, jumlah murid dalam satu
kelas dibatasi, maksimal 12 anak. Selama proses pembelajaran, guru dilarang
melakukan “3M”: tidak boleh melarang, menyuruh, marah/menghukum.
Basis pembelajaran adalah bermain sambil belajar.
Suasana belajar-mengajar dibangun untuk memberikan rasa nyaman dan bahagia
(happy learning). Untuk mencapai suasana tersebut, guru bersama murid duduk
dalam lingkaran, supaya posisi mata guru sejajar dengan mata para murid,
sehingga tidak ada jarak hierarkial. Maka, di kelas pun tidak ada papan tulis,
sebab guru tidak memerlukannya. Materi ajar disampaikan secara interaktif dan
kongkret, dengan menempatkan murid sebagai pusat. Guru pun menyapa para murid
dengan sebutan “teman.” Ketika memasuki kelas, guru tidak datang dengan sikap
“akan mengajar apa kepada anak hari ini” melainkan “aku akan belajar apa dari
anak hari ini.”
Metode ini membangun “kecerdasan jamak” secara
bersamaan dan berimbang: kecerdasan logika-matematika, bahasa, tubuh
(kinestetik), ruang (spasial), kemandirian (intrapersonal), kepedulian sosial
(interpersonal), musik. Seluruh potensi kecerdasan itu dibangun melalui
sentra-sentra (wahana) bermain yang meliputi tiga jenis main: main pembangunan,
sensorimotor dan main peran.
Ada tujuh sentra yang disediakan agar anak-anak
bisa bermain gembira dan mendapatkan banyak pilihan pekerjaan: Sentra
Persiapan (membangun kemampuan keaksaraan); Sentra Balok (merangsang kemampuan
konstruksi, prediksi, presisi, akurasi, geometri, matematika); Sentra Seni
(membangun kreatifitas, sensori motor, kerjasama); Sentra Bahan Alam (membangun
sensori motor, fisika sederhana, pemahaman akan batasan dan sebab-akibat);
Sentra Main Peran Besar dan Sentra Main Peran Kecil (mambangun imajinasi, daya
hidup, adaptasi, kemandirian, kebahasaan, kepemimpinan); serta Sentra Imtak
(iman dan takwa). Setiap hari, anak bermain di Sentra yang berbeda (moving
class).
Di setiap Sentra, kemampuan klasifikasi anak
dibangun secara terus-menerus agar mereka bisa memiliki konsep berpikir yang
benar, kritis, dan analitis. Semua pengetahuan (knowledge) diberikan secara
kongkret, tidak abstrak. Anak-anak dirangsang untuk “menemukan sendiri”
konsep-konsep faktual mengenai bentuk, warna, ukuran, ciri, tanda, sifat,
habitat, manfaat, serta rangkaian sebab-akibat.
Sejak dini, anak pun dirangsang untuk bisa
mengekspresikan diri dengan baik melalui kelisanan, tulisan dan gambar. Oleh
karena itu, selama proses belajar-mengajar, guru melakukan komunikasi
interaktif dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, agar
cara kerja otak anak pun terstruktur dengan baik. Bersamaan dengan itu,
dibangun juga laku praksis (bukan hafalan) karakter-karakter luhur berdasarkan
sifat-sifat mulia Allah (Asmaul Husna).
Jendela kesempatan
Metode Sentra terbukti sangat efektif digunakan
untuk membangun karakter dan kecerdasan anak sejak bayi (usia empat bulan)
hingga jenjang SD kelas tiga (usia sembilan tahun). Itulah fase awal dalam
kehidupan anak manusia yang oleh para ahli pendidikan disebut sebagai “usia
emas (golden age: 0-7 tahun).” Itulah suatu rangkaian waktu yang juga disebut
sebagai sebuah “jendela kesempatan” yang akan tertutup sesudah waktu itu
berlalu. Itulah masa yang sangat menentukan kualitas dan masa depan anak:
sukses atau gagal, jadi ahli surga atau ahli neraka.
Pertanyaannya adalah, sungguh-sungguhkah kita,
para orangtua, para pempimpin bangsa, hendak memiliki anak-cucu yang bisa
menjadi generasi baru bangsa yang lebih baik? Jika ya, satu hal yang sudah
pasti adalah: fondasi bagi kecerdasan dan karakter mulia hanya bisa dibangun
ketika anak usia 0-7 tahun. Itu artinya, Undang-undang tentang Sistem Pendidikan
Nasional harus diubah, dan program wajib belajar 12 tahun harus berfokus pada
pendidikan anak usia dini!
Itulah yang diyakini dan dilakukan oleh Presiden
Amerika Serikat Barack Obama. Begitu mengetahui kemerosotan kualitas para
pelajarnya sebagaimana yang ditunjukkan oleh, antara lain, hasil tes PISA 2009
yang menempatkan posisi anak-anak Amerika dalam kemampuan membaca, sains dan
matematika pada peringkat 17, 23 dan 31 di antara 65 negara, Presiden Obama
langsung berkesimpulan: “Amerika berada dalam bahaya terjengkang ke belakang.”
Maka, ia pun menggelontorkan dana US$ 10 miliar untuk meningkatkan kualitas
pendidikan anak usia dini, termasuk anak-anak kaum miskin, dan peningkatan
kualitas serta gaji para guru.
Kini, kita memiliki sekitar 65 juta anak usia
0-14 tahun, dan separuhnya tidak mampu bersekolah. Kita juga memiliki sekitar
60 juta jiwa orang miskin dan sangat miskin. Maka, kita pun bisa membayangkan,
seperti apa masa depan anak-anak mereka. Padahal, mereka juga adalah para ahli
waris utang luar negeri sebesar US$ 214,5 miliar, sekaligus merupakan
generasi penerus bangsa yang harkat dan martabatnya ambruk terbenam kemiskinan
dan moralitas para pemimpinnya yang buruk.
Apakah Anda, terutama Presiden SBY,
sungguh-sungguh tidak mau bertindak dan mengulurkan tangan untuk memperbaiki
nasib dan masadepan puluhan juta anak-cucu yang menangis dan merangkak dalam
kebodohan dan kurang gizi itu? Pak SBY, inilah “jendela kesempatan” terakhir
Anda untuk melakukan kebaikan di muka bumi.
Dengarlah apa yang dikatakan oleh Presiden Obama:
“Saya tidak mau mengirimkan generasi baru Amerika berikutnya untuk gagal di
sekolah. Saya tidak mau masadepan seperti itu bagi anak-anak perempuan saya.
Saya tidak mau masadepan seperti itu untuk anak-anak Anda. Saya tidak mau masadepan
seperti itu untuk Amerika.”[] (MEDIA INDONESIA, 20 Februari 2012)
* Yudhistira ANM Massardi adalah
sastrawan/wartawan pengelola sekolah gratis untuk dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi
Bekasi.
Yudhistira
ANM Massardi
email: ymassardi@yahoo.com
HP 0813.8842.0811
Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa,TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi
Pondok Pekayon Indah Blok BB 29 No 6, Jl. Pakis V B, Pekayon Jaya, Bekasi 17148
email: ymassardi@yahoo.com
HP 0813.8842.0811
Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa,TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi
Pondok Pekayon Indah Blok BB 29 No 6, Jl. Pakis V B, Pekayon Jaya, Bekasi 17148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar